Depok – Kepatuhan pemerintah daerah (pemda) dalam pelaksanaan harmonisasi produk hukum daerah seperti rancangan peraturan daerah (ranperda) dan rancangan peraturan kepala daerah (ranperkada) menjadi salah satu isu strategis yang dibahas dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Capaian Kinerja Kementerian Hukum (Kemenkum).
Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkum Maluku Utara (Malut), Budi Argap Situngkir pada rapat komisi peraturan perundang-undangan menyampaikan pentingnya perubahan rumusan regulasi yang berisi kewajiban harmonisasi dan dampak sebagai akibat hukum jika proses harmonisasi tidak dilakukan oleh pemda maupun legislatif.
Argap Situngkir menilai bahwa saat ini belum adanya norma yang memberi dampak hukum jika tidak dilakukannya harmonisasi ranperda/ranperkada. Sehingga jika ada ranperda/ranperkada meski tanpa dilakukan harmonisasi tetap dapat ditetapkan dan diundangkan menjadi Perda/Perkada.
“Ini patut menjadi perhatian, karena berdampak pada rendahnya tingkat kepatuhan pemda dalam harmonisasi,” ungkap Argap Situngkir di hadapan para Pimpinan Tinggi Madya dan Pratama di BPSDM Hukum, Depok, Rabu (30/7).
Berdasarkan data Kemenkum Malut, dari 1.537 Perda/Perkada untuk 10 kab/kota di Malut yang diundangkan, hanya 289 perda/perkada atau 18,8% saja yang melalui proses harmonisasi. Sementara sebanyak 1.248 perda/perkada atau 81,2% diundangkan tanpa melalui proses harmonisasi.
“Sehingga kami mengusulkan adanya penambahan kewajiban harmonisasi dan dampak sebagai akibat hukum jika proses harmonisasi tidak dilakukan,” ungkapnya.
Pandangan tersebut mendapatkan antusiasme para Kakanwil dan Direktur yang hadir pada rapat komisi IIA. Harapannya output yang dilahirkan yakni tersedianya regulasi yang mengatur adanya norma yang memberi dampak hukum jika tidak dilakukannya harmonisasi rancangan perda/perkada.
Sehingga berdampak pada meningkatnya tingkat kepatuhan pemda dalam harmonisasi pada Kanwil Kemenkum di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Malut.